4 Juli 2013.


Sebuah tanggal titik balik.
Aku mengingat sepasang bocah yang saling mencinta dahulu. Mereka sama-sama bersepakat menjadikan dunia mereka; atau setidaknya hubungan mereka, seindah yang ada di Twilight.
Dan abakadabra.. Itulah yang terjadi. Dunia mereka begitu lengkap dan terasa sempurna.
Seperti Bumi ini hanya mereka saja. Saling mengisi, tak ingin terpisah.
Bahkan mata para pencinta lain yang lebih dewasa tentu setengah mati iri jika melihat sepasang bocah ini bertukar pandang. Alam seperti paham isi hati mereka.
Aku masih saja mengingat segar di otakku ketika bocah lelaki yang gemar bertopi ungu itu selalu menggandeng tangan si bocah perempuan ketika berjalan, dimanapun. kapanpun. tak pernah lepas.

"Biar, Lit. Biar dunia iri sama kita!" serunya.

Aku masih ingat bagaimana seharian suntuk si bocah perempuan memandang layar telepon genggamnya tiap 3 menit. Tawanya begitu membahana ketika telpon itu datang dari si bocah lelaki di ujung sana. Tak pernah ada hal penting yang mereka omongkan. Hanya menertawakan dunia, kehidupan, dan bahkan diri mereka sendiri.

Aku juga masih ingat bagaimana bocah lelaki itu menarik santai tas yang dibawa si bocah perempuan ketika aku mengintip mereka berjalan bersama, tertawa begitu damai seperti dunia ini tanpa benci, ketika mereka bertemu di trotoar depan kantor walikota semarang. Mereka masih saja disana tiap kali aku melewati jalan itu.

Aku juga masih ingat bagaimana si bocah perempuan merajuk, marah pada bocah lelaki saat si bocah perempuan itu sadar bahwa dunia yang mereka cipta sebetulnya semu, menyadari dia hanyalah Bella Swan yang terobsesi dan dia hanyalah Edward Cullen yang terobsesi. Waktu itu si bocah perempuan berjalan kesal dari Gramedia Pemuda. Berjalan menuju jembatan penyebrangan, diikuti si bocah lelaki yang sangat keras menahannya agar tak pergi. Ketika mereka berada diatas jembatan, si bocah perempuan berhenti. Bocah lelaki itu menangis. Mengerang mengatakan dia begitu menyayanginya, dan memintanya tak pergi. Air mata itu benar benar nyata, menetes.

Tapi tak cukup deras untuk membendung langkahnya.


Perempuan itu berlalu meninggalkannya yang termangu diatas jembatan, dibawa kabur sebuah Taksi. Didalamnya, ia melihat lelaki itu perlahan melangkah.

"Alit hati hati ya.. Mas mau ke Gereja. Mas sayang banget sama Alit.. Semoga Alit sadar.."


Taksi itu membawanya berbalik arah, kembali menuju rumahnya di Sampangan. Bocah perempuan itu mengambil sepeda yang biasa ia gunakan untuk berkeliling dengannya. Ia mengayuhnya sampai gereja dekat Tugu. Lelaki itu baru saja keluar dari Gereja.

Bocah lelaki itu memandang bocah perempuan dan sepedanya dengan tak percaya. Dia memeluknya, Tuhan benar agaknya mengabulkan doanya. Mereka pun pulang bersama. Si lelaki mengayuh sepeda berat itu sepanjang Gereja hingga Sampangan. Keringatnya menetes deras seperti hujan pertama. Tapi senyumnya begitu ringan, tak ada air mata yang datang. Dia malah tersenyum, bernyanyi seperti tak ada hal yang terjadi.







Seandainya aku bisa pulang ke pelukanmu.