Kau, suara yang sayup kudengar saat mula selaput telinga tergetar,
senandung kidung segugup degup jantung, membisikkan fajar
sejenak setelah aku sadar, mengajar mengeja semesta cinta
sampai sangkakala melengking melengkapkan usia
Kau, wujud yang lamat kulihat kali pertama pelupuk mata terbuka,
cerlang sejernih pandang kekasih, sabar menjalar di langit nalar,
mengelus santun ubun, menuntun tangan menatah nisan
sebelum cahaya dan apiku padam di sumbu kalbu
Dan aroma asing yang paling dulu kuhidu, tiada lain selain kau,
seharum hawa lembab di lembah susu, melecut kelepak paru,
mengulur nafas mengalirkan nafsu, ke muara rahasiamu
kelak ketika udara henti di hulu nadi
Siapa lebih setia dibanding kau – jiwa yang tak jeri mengembarai diri
sendiri, detikmu serentak detakku, harimu sehiruk haru-huraku,
rasaku meraba rabumu, tak tanggung kautunggui aku
hingga hapus air mataku dari mata airmu
Kukecup-kecap cintamu, kupagut pagi-petang, kusesap siang-malam,
kau bertahun bertahan, tanpa alpa tugasmu: menumbuh-rubuh-rapuhkan
kenanganku, sampai aku melupakanmu ketika tanah
memintaku kembali ke Entah