Saat, ketika, waktu.

Ada saat dimana mungkin kita butuh jarak dengan hidup. Memastikan bahwa apa yang kita sebut “cinta” dan “rindu” yang menyertainya tidaklah serupa senja yang hanya sesaat datang lalu hilang.

Dan saat itu, aku, kau dan kita sedang mengalami ekstase, tak lagi berumah di bumi.
Ada ketika dimana waktu diminta singgah, keheningan dihadirkan agar setiap dari kita benar-benar yakin bahwa ketika berciuman dulu, bukan cuma bibir dan lidah kita yang bersua dengan ganas. Tapi juga jiwa kita, seperti ketika Hawa diciptakan sebagai bagian tak terpisahkan dari Adam. Ia adalah sebagian yang menyempurnakan.

Ia diciptakan dengan satu tujuan, menjadi separuh yang melengkapi.


Ada waktu, ketika aku tak bisa memikirkan hal lain selain matamu dan tawa kecilmu. Seperti sore ini. Di museum, diantara tumpukan teksbook, bossanova, puisi dan surat - surat Kartini. Mengapa rasanya cuma senyummu yang menari pada setiap benda itu. Atau jangan-jangan aku yang sudah mulai gila. Bukankah pernah kukatakan padamu bahwa rindu bisa menikammu lebih dari belati.


Dan ada saat, ada ketika dan ada waktu dimana aku tidak ingin apa-apa selain dirimu.