Tanggal Empat Februari dari tahun Dua Ribu Tiga Belas.
Selepas Maghrib,
Seperti hari yang biasa berlalu,
setelah aku selesai bekerja, menghibur mitra muda. Ada senyum manis dan sorot mata teduh itu menyapa.
"Gimana? Seru nggak hari ini?"
Lalu kau genggam tanganku, mengembangkan senyum di raut wajahku dan wajahmu.
Lalu kau dan aku tertawa bersama, menangkap butiran romansa di udara.
"Kamu tau.. Hari ini lucu banget, masa ada yang bilang kalo misal semua benda di dunia ini kotak.. Dia bakal susah nyari benda-benda pengganti buat lamaran. Soalnya kan biasanya ngasih buat cewek tuh yang bunder-bunder."
"Iya.. Setuju banget aku! Masa nanti aku ngasih kamu cincin kotak? Jadi lucu banget kalo ada di jari manismu, alit"
"Dasar ahli gombal! Nggak usah sok-sokan begitu deh. Nggak lucu!"
"Nggak lucu kok ketawa sih?"
"Yaudah, aku nangis ya?"
"Dasar cengeng"
"Ih apa coba? Hahaha"
Hari mulai gelap.
Aku masih ingat betul bagaimana kau menggengam tanganku lalu membukakan pintu mobil untukku.
Aku masih ingat betul kita hanya berputar, berputar.
"Kita sebenarnya mau kemana, sih? Daritadi muter muter. Kamu lagi kebanyakan duit bensin yah?"
Bukannya menjawab, kau malah diam dan mengeraskan suara radio.
Lagu kebangsaan kita, bukan?
"It's a cold hard road when you wake up ,
and I don't think that I have the strength
to let you go..
Maybe it's just me, couldn't you believe
that everything I said and did, wasn't just deceiving.
And the tear in your eye, and your calm hard face
makes me wish that I was never brought into this place."
Lamunanku tersadar akan sesuatu, Aria.
Aku menyanyikannya bukan untuk dia lagi.
Kali ini, lantunanku untukmu.
Aku masih ingin menyapa beribu bintang,
melewatkan seribu satu malam,
menghembuskan kabar Neptunus,
bersamamu.
Bisakah kau.. tidak pergi dan hanya memberikan hatimu untukku?