Tuhan...
selamat pagi, atau selamat siang, dan selamat malam. Aku tak tahu di surga
sedang musim apa, penghujan atau kemaraukah? Ataukah mungkin sekarang sedang
turun salju? Pasti indah. Kalau boleh berbincang sedikit, aku belum pernah
melihat salju. Mungkin, kalau aku sudah cukup dewasa dan sudah bisa
menghasilkan uang sendiri, aku akan bisa menyaksikan salju, dengan mata
kepalaku sendiri.
Aku tahu
Kamu tak pernah sibuk. Aku tahu Kamu selalu mendengar isi hatiku meskipun Kamu
tak segera memberi pukpuk di bahuku. Aku tak perlu curiga padaMu, soal Kamu
mendengar doaku atau tidak. Aku percaya telingaMu selalu tersedia untuk
siapapun yang percaya padaMu. Aku yakin pelukanMu selalu terbuka bagi siapapun
yang lelah pada dunia yang membuatnya menggigil. Aku mengerti tanganMu selalu
siap menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang patah.
Masih
tentang hal yang sama, Tuhan. Aku belum ingin ganti topik. Tentang dia.
Seseorang yang selalu kuperbicangkan sangat lama bersamaMu. Seseorang yang
selalu kusebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap panjang denganMu.
Aku sudah
tahu, perpisahan yang Kau ciptakan adalah sesuatu yang terbaik untukku. Aku
mengerti kalau Kamu sudah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik darinya.
Tapi... bukan berarti aku harus absen menyebut namanya dalam doaku bukan?
Nah... kalau
yang ini, aku juga sudah tahu. Dia sudah menemukan penggantiku, entah lebih
baik atau lebih buruk dariku. Atas alasan apapun, aku harus turut bahagia
mendengar berita itu, karena ia tak perlu merayakan kesedihannya seperti yang
aku lakukan beberapa hari terakhiri ini. Seiring mendapatkan penggantiku, ia
tak perlu merasa galau ataupun merasa kehilangan. Sungguh... aku tak pernah
ingin dia merasakan sakit seperti yang kurasakan, Tuhan. Aku tak pernah tega
melihat kecintaanku terluka seperti luka yang belum juga kering di dadaku. Aku
hanya ingin kebahagiaannya terjamin olehMu, dengan atau tanpaku.
Tolong kali
ini jangan tertawa, Tuhan. Aku tentu saja menangis, dadaku sesak ketika tahu
semua berlalu begitu cepat. Apalagi ketika dia menemukan penggantiku hanya dalam
hitung jam. Aku memang tak habis pikir. Padahal, aku sedang menikmati perasaan
bahagia yang meletup pelan-pelan itu. Bukannya ingin berpikiran negatif, tapi
ternyata setiap manusia punya topengnya masing-masing. Ia berganti-ganti peran
sesukanya. Sementara aku belum cukup cerdas untuk mengerti wajah dan kenampakan
aslinya. Aku hanya melihat segala hal yang ia tunjukkan padaku, tanpa pernah
tahu apa yang sebenarnya ada dalam hatinya.
Aku tidak
tahu bagaimana kabarnya sekarang. Bagaimana hubungannya dengan kekasih barunya.
Aku tak terlalu ingin mengurusi hal itu. Aku yakin dia pasti bahagia, karena
begitu mudah mendapatkan penggantiku.
Aku percaya
dia sedang dalam titik jatuh cinta setengah mati pada kekasih barunya, dan
tidak lagi membutuhkan aku dalam helaan napasnya. Permintaan yang sama seperti
kemarin, Tuhan. Jagalah kebahagiaannya untukku. Bahagiakan dia untukku.
Senyumnya adalah segalanya yang kuharapkan. Bahkan, aku rela menangis untuknya
agar ada lengkungan senyum di bibirnya. Aku ingin lakukan apapun untuknya,
tanpa melupakan rasa cintaku padaMu. Aku memang tak menyentuhnya. Tapi... dalam
jarak sejauh ini, aku bisa terus memeluknya dalam doa.
Pernah
terpikir agar aku bisa terkena amnesia dan melupakan segala sakit yang pernah
kurasa. Agar aku tak pernah merasa kehilangan dan tak perlu menangisi sebuah
perpisahan. Rasanya hidup tak akan terlalu rumit jika setiap orang mudah
melupakan rasa sakit dan hanya mengingat rasa bahagia. Namun... aku tahu hidup
tak bisa seperti itu, Tuhan. Harus ada rasa sakit agar kita tahu rasa bahagia.
Tapi, bagiku rasa sakit yang terlalu sering bisa membuat seseorang menikmati
yang telah terjadi. Itu dalam persepsiku lho, Tuhan. Kalau pendapatMu berbeda
juga tak apa-apa.
Aku memang
tak perlu meratap, karena sepertinya ia bahagia bersama kekasih barunya. Ia
pasti telah menemukan dunia baru yang indah dan menyenangkan. Aku turut senang
jika hal itu benar, kembali pada bagian awal, Tuhan. Aku tak pernah ingin dia
merasakan sakitnya perpisahan, seperti yang aku rasakan.
Akhir percakapan, aku tidak minta agar dia segera putus dari kekasihnya, atau hubungan mereka segera kandas di tengah jalan. Aku hanya minta agar ia sembuh dari maag akutnya. Agar ia terhindar dari vertigo parahnya. Agar asmanya berhenti ketika tubuhnya kelelahan. Semoga kekasihnya mengerti betul penyakitnya seperti aku mengerti rasa sakitnya.
Kembali pada
bagian awal. Aku hanya ingin ia bahagia. Cukup.