“Mamaku seorang arsitek.” dengung suara itu terdengar nyaring, suara Racheya mengalir lembut di telinga Bianca.
“Mama bangun
pagi-pagi menyiapkan makanan. Mata Mama seperti mata panda, aku tahu
Mama pasti kurang tidur. Masakan Mama seringkali tidak enak, cuma
itu-itu saja. Mamaku tidak jago masak, tapi beliau jago matematika juga
menggambar. Aku cinta Mamaku seperti aku mencintai diriku sendiri.”
Racheya memperbaiki kuncir rambutnya yang agak berantakan, ia kembali
melanjutkan ceritanya. “Tidak ada mama yang sehebat Mamaku. Cantik.
Putih. Manis. Luar biasa!”
Napas Racheya
menghela lega, siswa-siswi kelas 3 SD memberi tepuk tangan meriah seusai
cerita terapal. Selanjutnya mereka terdiam, takut namanya disebut Ibu
Guru dan harus bercerita tentang mahluk kecintaan Tuhan yang diciptakan
sempurna, Mama. Anak-anak kecil dengan wajah lugu itu terlihat sibuk
sendiri. Ada yang sibuk berbisik dengan teman sebangkunya, ada yang
sibuk berlatih membaca cerita karangan mereka, dan ada juga yang hanya
terdiam.
Terdiam. Hanya
Bianca yang terdiam di kelas itu, tatapannya bahkan terlihat kosong. Ada
awan yang bergerak tergesa-gesa. Ada burung gereja yang bersiul dekat
dengan dahan pohon. Entah hal menarik apa yang sedang ia perhatikan di
luar jendela. Matanya seperti tak bercahaya, seakan-akan ia sedang
memikirkan sebuah kepahitan yang sulit dipersepsikan. Tubuhnya enggan
bergerak lincah, Bianca sengaja mematung, dan berharap tak mendengar
gaduh riuh kelas itu.
Kevin menyeret
kakinya perlahan-lahan. Rasa gemetar itu sungguh hebat hingga
melumpuhkan beberapa saraf simpatik dan saraf parasimpatiknya. Ia
menjulurkan lengannya dan memindahkan kertas karangan miliknya ke tangan
Ibu Guru. Beberapa menit Ibu Guru membaca tulisannya, beliau
mengangguk. Kevin tersenyum gembira tapi agak canggung.
“Aku tidak
memanggil beliau Mama, tapi Ibu. Aku cuma tahu satu hal yang pasti, mata
Ibu selalu hangat ketika membangunkanku untuk sholat.” lelaki kecil
dengan tubuh gempal itu menarik ingusnya perlahan, bersiap untuk membaca
kalimat berikutnya. “Masakan Ibu enak, aku suka semua masakan beliau,
makanya aku gendut. Ibu bilang aku seperti hamster, setelah kenyang
makan langsung tertidur pulas.”
Jeda kalimat
beberapa detik mengundang tawa membahana. Kevin dengan mimik wajah datar
masih saja berlanjut membaca karangannya. “Tapi, Ibu selalu bilang
gendut berarti sehat, asal aku sering berolahraga. Ibu sederhana, namun
nasehatnya selalu luar biasa.”
Suara tepuk tangan
kembali bergaung di setiap sudut kelas. Bianca tak ikut tenggelam dalam
atmosfer itu. Ia menatap malas kertas kosong yang masih polos dan tak
tertulis huruf. Tak ada garis juga titik, hanya warna putih, seputih
warna bendera Indonesia. Masih bersih.
Bianca mulai
tenggelam ke alam pikirannya. Haruskah dia bercerita tentang Mama?
Wanita yang tak begitu ia kenal. Rasanya ia ingin mengusir segala rasa
yang mengusik di dadanya. Bianca sebenarnya tak mau ingat kenyataan itu.
Ia melirik gurunya dengan tatapan sinis dan bengis. Lulus dari sini,
kubunuh kamu! Serunya di dalam hati.
Dia semakin benci
pelajaran bahasa Indonesia. Terutama saat harus mengarang. Ketika semua
anak bercerita tentang kenyataan dalam hidup mereka, Bianca malah harus
benar-benar mengarang dan mengawang-awang. Kalau lama-lama bersekolah di
sini, mungkin dia akan jadi penulis fiksi dengan buku bestseller.
Sialan! Ia meremas pensilnya, apa yang harus dia tulis sekarang? Ia tak
terlalu mengenal ibunya, masa harus menulis kalau ibunya adalah
arsitek? Atau ibunya pandai memasak? Pelajaran mengarang membuat dia
semakin rajin berbohong.
Kalisha sudah
maju, Kevin juga sudah membaca karangannya di depan kelas, apalagi si
cerewet Lala, dia bersemangat ketika bercerita tentang ibunya dengan
gaya yang sombong. Angkuh. Gadis sok mahal.
Bianca kembali
melempar pandang ke arah jendela. Mencoba mencari-cari kata untuk
mendeskripsikan ibunya. Mungkin, ia harus mulai dari rumahnya. Seorang
ibu identik dengan pekerjaan rumah tangga. Iya, dia harus bercerita
tentang rumahnya lebih dulu.”
“Aku dan Mama tinggal di sebuah rumah di dekat Sosromenduran, Yogyakarta. Bentuknya sederhana, tak terlalu besar dan tak terlalu kecil. Cukup nyaman untukku dan untuk ibu.” tulisnya perlahan-lahan sambil menjulurkan kakinya. Kaki itu seperti pegal walaupun Bianca tak menggerakannya.
Lalu, ia kembali
mereka-reka wajah Mama lagi. Wanita itu manis, senyumnya tipis namun
kecantikannya tak dapat digubris. Bianca hapal tatapan mata Mama yang
bulat dan kadang membesar. Mata itukah yang menatapnya dalam-dalam
ketika ia tak sengaja terlelap di ruang tamu.
“Mama tak punya kemampuan apa-apa, yang kutahu Mama adalah wanita hangat yang bersedia menggendongku ketika aku tertidur di ruang tamu.” goresan pensil berikutnya terdengar lebih jujur dan sederhana. Bianca terdiam ketika otaknya buntu.
Kali ini, mungkin
dia harus bercerita tentang pekerjaan Mama. Kalau Mama tidak bekerja,
mana mungkin ia bisa berseragam dan bersekolah di sini? Iya, pekerjaan
Mama. Akhirnya ia harus bercerita tentang pekerjaan Mama, detail dari
mamanya yang paling ia benci.
Tak ada sejengkal
pun peristiwa yang ia lupakan, ketika Mama pulang dengan mata sayup dan
mulutnya bau alkohol. Disaat-saat seperti itu, Mama seperti tak mengenal
Bianca, sampai-sampai wanita bertubuh langsing itu menampar dan memukul
Bianca berkali-kali. Rasa sakitnya disimpan sendiri, seringkali ia
bertanya-tanya dalam hati tentang pekerjaan Mama.
Pernah suatu
ketika, ia memberanikan diri bertanya pada Mama. Mata polosnya dan
langkah mungilnya mendekati Mama. “Mama kerja apa sih? Kenapa setiap
pulang pasti mabuk?”
“Bukan urusanmu,
Anak Haram. Yang terpenting kamu sudah kuberi makan, kubelikan pakaian
terbaik, dan kusekolahkan di sekolah terbaik. Bocah bermulut lancang tak
tahu diuntung!”
Bianca terdiam
untuk beberapa saat dan enggan melontarkan pertanyaan baru, karena
setiap bertanya pasti selalu dijawab dengan panggilan ‘Anak Haram’.
Walaupun ia tak mengerti arti dua kata itu, tapi gendang telinganya
sangat benci mendengar gelombang suara Mama yang terdengar tak
mengenakan itu.
Dia tak ada ide. Apakah dia harus bercerita tentang isi pesan singkat di handphone
Mama? Mungkin bisa jadi bahan tulisan baginya. Lalu, ia mengingat lagi
peristiwa itu. Peristiwa yang sebenarnya ingin ia buang dari ingatannya.
Jalan Pasar KembangHotel Bagaskara kamar 361 pukul 21.00
Tolong belikan kondom
Mama kadang meminta Bianca untuk membacakan pesan singkat di handphone-nya,
karena saat itu Mama sedang sibuk merias diri dan memilih-milih pakaian
yang harus ia pakai. Bianca sudah tahu, ketika ia membaca pesan singkat
berakhiran kondom; Mama pasti akan menghilang di tengah malam dan
kembali esok pagi dengan keadaan lemas.
“Aku tidak tahu kekuatan yang dimiliki kata kondom, karena satu kata itu, Mama selalu tak pulang hingga larut malam. Kadang mulutnya bau alkohol, kadang riasan di wajahnya berantakan, dan kadang ada luka memar di bagian tangan. Setiap kali aku bertanya, Mama selalu berkata bahwa semua baik-baik saja.”
Bianca tak tahu
apakah Mata yang selalu menatapnya dengan lembut adalah Mata yang juga
menatapnya dengan jujur. Ia jadi terbiasa membuat gerimis kecil di
bantalnya ketika malam hari, terutama saat malam minggu.
Setiap malam
minggu, Mama membawa seorang pria ke rumah. Pria itu meremas bahu Mama
dengan kencang, namun Mama tak melawan. Ketika Bianca mengintip dari
balik pintu, ia tak mau berkomentar banyak, takut mendengar dua kata itu
lagi, ‘Anak Haram’
Malam berlalu
semakin panjang, suara lenguhan Mama dan pria yang tak Bianca kenal itu
menganggu tidur panjangnya. Kadang lenguhannya berupa desah kenikmatan,
kadang juga rintih kesakitan. Suara itu menganggu jam tidurnya. Saat itu
juga ia sering membuat gerimis kecil di bantalnya. Air mata.
Bagian ini, Bianca
tak mau menulisnya. Ia tak suka menulis tentang kesedihan, nanti
dikasihani orang. Ia memilah-milah lagi bagian yang harus ia tulis.
Bagian berikutnya, mungkin akan jadi bagian favorit gadis kecil ini,
ketika Mama membawanya ke Ambarukmo Plaza.
Mama memang jarang
mengajak Bianca ke Ambarukmo Plaza, makanya itu Bianca selalu
menunggu-nunggu waktu ketika Mama tak ada acara. Sebenarnya, Mama tak
membeli apa-apa di Ambarukmo Plaza, beliau hanya melihat dari kaca,
beberapa pakaian dengan harga selangit.
Ketika lelah berkeliling, Mama mengajaknya membeli ice cream.
Bianca selalu memesan rasa strawberry, semanis wajah lugunya. Katanya
Mama tak mau ikutan makan, takut badannya gendut. Ia melahap ice cream dengan tergesa-gesa, Mama menggeleng lucu sambil berucap dengan bahasa Jawa medoknya. “Pelan-pelah tho, Nduk.”
Mama segera mengenggam tissue dan menghapus cream
manis di bibir Bianca. Saat-saat itulah yang paling ia suka. Ia dan
Mama bisa tertawa bersama, dan lupa pada beban hidup mereka
masing-masing.
“Mama pernah bertanya tentang cita-citaku. Aku menjawab ingin menjadi wanita baik seperti Mama. Tapi, senyuman Mama tiba-tiba berbeda, aku malah dilarang menjadi mirip seperti Mama. Ketika kutanya kenapa, beliau hanya memelukku, lalu menangis.”
“Bianca!” suara itu terdengar nyaring memanggilnya. “Silakan baca karanganmu.”
Langkah Bianca
mantap mendekati meja Ibu Guru, ia menyerahkan kertas yang berisi
tulisan karangannya. Ibu Guru membaca karangan itu beberapa menit, lalu
sesekali mencuri-curi pandang ke arah Bianca.
“Karanganmu sudah Ibu nilai, jadi tak perlu kamu bacakan di depan kelas.”
Bianca mengangguk bingung. Mengapa karangannya tak baca?
Ia kembali ke tempat duduk. Menatap keluar jendela dan tersenyum ketika mengingat wajah Mama.